Mencintai sahabat nabi Muhammad SAW secara tepat dan proporsional adalah tuntutan syari. Artinya cinta terhadap para sahabat nabi saw adalah sunnah rasulullah saw. Untuk merealisasikan cinta tersebut maka kita perlu mengenal diri sahabat dan kedudukan mereka; bagaimana penilaian Allah ta'ala dan rasul-Nya sehubungan dengan sikap muslim terhadap sahabat.
Siapa sahabat itu
Mundzir Al As'ad di dalam kitabnya 'Baraa'atush shahabah minan nifaq' mengetengahkan perkataan syaikh Muhammad Abi Syuhbah bahwa, menurut definisi para ulama dan ahli hadits, sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw di dalam keadaan mu'min dan meninggal di dalam keimanan. Maka bagi yang murtad dan meninggal di atas kemurtadan batal sebutannya sebagai sahabat. Bagi yang bertaubat dan kembali kepada islam, menurut pendapat yang lebih benar kembali pula disebut sebagai sahabat. Bagi yang menyatakan keislaman dan menyimpan kekufuran seperti orang munafik, maka dia bukan termasuk sahabat. Allah dan Rasul-Nya telah menjamin terungkapnya kemunafikan mereka.
Mundzir Al As'ad di dalam kitabnya 'Baraa'atush shahabah minan nifaq' mengetengahkan perkataan syaikh Muhammad Abi Syuhbah bahwa, menurut definisi para ulama dan ahli hadits, sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw di dalam keadaan mu'min dan meninggal di dalam keimanan. Maka bagi yang murtad dan meninggal di atas kemurtadan batal sebutannya sebagai sahabat. Bagi yang bertaubat dan kembali kepada islam, menurut pendapat yang lebih benar kembali pula disebut sebagai sahabat. Bagi yang menyatakan keislaman dan menyimpan kekufuran seperti orang munafik, maka dia bukan termasuk sahabat. Allah dan Rasul-Nya telah menjamin terungkapnya kemunafikan mereka.
Masih di dalam kitab yang sama Mundzir Al As'ad mengutatyrakan bahwa, menurut pendapat jumhur bagi yang lebih lama bersahabat dengan Nabi saw, mendengar dari Nabi saw, berperang bersama beliau atau berkurban dengan jiwa dan hartanya untuk membela Nabi saw, maka haditsnya mursal (ditinjau) dari segi riwayatnya, sekalipun ia menpunyai kemuliaan sebagai sahabat.
Ahli sunnah telah sepakat bahwasanya para sahabat adalah adil. Artinya, mereka tidak pernah sengaja untuk mendustakan atau mengkhianati Rasulullah saw, baik debgan lisan maupun perbuatan. Mereka memiliki ilmu dien yang dalam, iman dan taqwa yang tangguh, akhlaq yang mulia dan keberanian yang luar biasa di dalam menbela Al Islam dan kaum muslimin. Maksud adil di sini bukan berarti maksum (terjaga) dari salah dan lupa. Akan tetapi kebaikan mereka yang banyak dapat menutupi kekurangan yang manusiawi.
Sifat dan kedudukan sahabat
Allah swt telah menginformasikan kepada kita bahwa sahabat rasulullah saw memiliki sifat dan kedudukan yang mulia, diantaranya: termasuk umat Islam yang adil dan pilihan (QS. 2:143); sebagai umat terbaik yang senantiasa ber amar ma'ruf nahi munkar (QS. 3:110); memiliki karakter berkasih sayang terhadap orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir, ruku' dan sujud hanya mencari karunia dan keridhaan Allah Ta'ala. Dan hal inj digambarkan pula dalam kitab-kitab sebelum Al Quran (QS. 48:28); mereka termasuk orang-orang yang telah mendapat predikat ridwanullah 'alaihim ajama'in/ telah diridhoi oleh Allah Ta'ala (QS. 9:100/48:18-19); secara umum merekalah orang-orang yang akan masuk surga lebih dahulu dan diantara mereka ada 10 orang yang dijamin sebagai ahli surga (QS. 56:10-14) dan lain-lain ayat yang begitu banyak menggambarkan tentang sifat dan kedudukan sahabat.
Rasulullah SAW pun telah bersabda tentang kedudukan para sahabat, yang artinya : Sebaik-baiknya manusia adalah pada abadku, kemudian abad sesudahnya kemudian abad sesudah itu." (HR. Al Bukhari, Muslim, Ahmad, At Tirmidzi, dll)
Sikap bagi generasi setelah sahabat
Sebagai generasi yang sanggup mawas diri (siapa saya dan siapa sahabat), maka layak kiranya kita perhatikan firman Allah Ta'ala berikut ini, yang artinya:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (sesudah muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Robb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau menbiarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. 59:10).
Di samping selalu berdoa seperti digambarkan ayat di atas, maka kita seharusnya berusaha dengan sepenuh daya yang ada untuk menempuh cara/manjad/jalan/metodologi yang telah ditempuh sahabat di dalam beragama dan inulah hakikat mencintai mereka. Jika tidak demikian berarti kita akan tergolong ke dalam lingkaran ahlul bidah wal furqah, lawan dari ahlus sunnah wal jama'ah. Mari kita perhatikan firman Allah Ta'ala, artinya :
"Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalanya orang-orang beriman (mu'min). Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukan ke dalam Jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali"(QS. 4:115).
Ancaman ini ditujukan kepada siapa saja yang berani menentang Rasul yakni menyelisihi sunnah beliau dan mengikuti jalan bukan jalanya orang-orang mu'min. Sabilul mu'min pada ayat ini tafsirnya adalah jalanya para sahabat, sebagaimana penafsiran Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah dalam mouqoddimah kitab Naqdul Mantiq dan lain-lain.
Ketika turun ayat 115 surah An Nisa ini, tidak ada orang mu'min yang lain di permukaan bumi ini selain para sahabat, kemudian orang-orang mu'min sesudah mereka dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalanyaorang-ora g mu'min yang pertama daru kalangan para sahabat.
Ibnul jauzi (wafat : 597 H), dalam kitab Talbis Iblis, halaman 15, menukil laporan Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, artinya : "sungguh benar-benar pasti akan terjadi pada umatku sebagaimana apa apa yang telah datang kepada bani israil seperti sepasang sandal. Sampai-sampai jika di kalangan bani israil ada yang mezinai ibunya dengan terang-terangan, tentu akan ada yang berbuat demikian di kalangan umatku. Sesungguhnya bani israil telah terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali golongan yang satu. Para sahabat bertanya, "siapakah dia wahai Rasulullah? " Beliau menjawab, "Golongan yang aku dan para sahabatku ada diatasnya." (Riwayat At Titmidzi)
Lalu beliau juga menukil laporan Muawiyah bin Abi Sufyan, bahwa dia berdiri untuk berkutbah, lalu berkata, "Sesungguhnya rasulullah saw telah berdiri ditempat kami berdiri ini. Lalu beliau bersabda, artinya : " Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahli Kitab telah terpecah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umatku akan segera terpecah menjadi 73 golongan. 72 di neraka dan yang satu di surga. Dan dia adalah al jamaah. Sesungguhnya akan muncul dikalangan umatku beberapa kaum yang dibelit oleh bidah-bidah seperti penyakit gila bila telah menyerang) mangsa-mangsanya." (Riwayat Abu Dawud).
Selain Ibnul Jauzi, masih banyak ulama lain yang menukil hadits tentang ini yang dikenal dengan hadits iftiroq dalam kitab mereka masing-masing. Hadits mutawatir atau sekurang-kurangnya hadits masyur inu adalah shahih.
Al -'Alamah Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat, yang artinya : " maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainya." (QS. 6:153)", menyatakan, sesungguhnya jalan Allah disebut dengan kata tunggal (mufrad) tidak lain dan tidak bukan hanyalah karena Al Haq iti hanya satu. Karena itulah jalan-jalan syetan disebut dengan bentuk jamak (as-subul) adalah karena bermacam-macam. Sebagaimana firman Allah ..(lalu beliau menukil surat Al Baqarah ayat 257). Lihat Tafsir ibnu katsir jilid II, hal 256.
Dan yang dimaksud al jama' ah adalah jama'ah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti manhaj sahabat. Lafadz Al Jamaah disebut dengan bentuk tunggal (mufrad) karena tidak ada jamaah-jamaah (dengan bentuk jamak, al jama'aat, yaitu jamaah para sahabat, berikut orang-orang yang mengikutinya.
Oleh karena itu, rasulullah saw dalam kuliah subuh yang menurut para sahabat dianggap sebagai kuliah perpisahan memberikan wasiat penting kepada umat islam yakni apabila mendapati perpecahan, agar berpegang teguh debgan sunnah beliau dan sunnahnya para sahabat. Beliau bersabda, artinya: "Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin al mahdliyyin. Gigitlah sunah tersebut dengan geraham kalian. Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru yang diada-adakan, maka sesungguhnya tiap-tiap bidah adalah sesat." (Riwayat Abu Dawud fan At Tirmidzi.Beliau berkata, hadits hasan sahih"). Ini adalah penggalan dari hadits yang lebih panjang dan dikenal sebagai hadits Al Irbadl bin Syariyah.
Wasiat untuk berpegang teguh dengan sunnah nabi dan sunnah para sahabat ketika mrrebaknya berbagai perselisihan, benar-benar wasiat yang penting. Karena menang itulah satu-satunya jalan keselamatan. Siapa yang mengabaikannya,tentu akan celaka.
Larangan membenci/mencaci sahabat
Sifat dan kedudukan sahabat yang mulia seperti digambarkan di dalam firman Allah ta'ala dan sabda Rasulullah saw di atas, menbuat kita paham dan menyadari bahwa tidak layak bagi kita mengaku muslim, justru bersikap menentang Allah Ta'ala dan RasulNya yakni tidak mendoakan para sahabat; membiarkan hati berpenyakit/atau dengki; tidak mengikuti nanhaj para sahabat didalam beragama; bahkan membenci dan mencaci sahabat (kita berlindung kepada Allah Ta'ala atas perilaku setan tersebut). Hal itu semua (bersikap negatif terhadap sahabat) adalah terlarang, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw, artinya: "Janganlah kalian mencaci sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan Nya, kalau sekiranya seseorang dari kalian meenginfakan emas sebesar gunung uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu atau setengah mud dari salah seorang mereka. " (Mutaffaq'alaih)
Larangan membenci sahabat telah jelas, kita layak mematuhinya, kecuali bagi mereka yang memiliki penyakit hati yang sulit diobati, dan menbuat pelakunya melesat lepas dari islam, seperti golongan Rafidhah/syi'ah.
Wallahu A'lam bishawab.
Wallahu A'lam bishawab.
(Sumber : An Nur)
No comments:
Post a Comment